Konon kina disebut pohon ajaib karena berfungsi sebagai penawar penyakit malaria yang kala itu mewabah dan memakan banyak korban. Kina memang bukan tanaman asli Indonesia. Namun, Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda pernah menjadi salah satu sumber kina terbesar serta menguasai 90% pasar kina dunia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan di sepanjang pegunungan Andes, meliputi Venezuela, Colombia, Equador, Peru sampai Bolivia. Masa penjajahan Belanda menjadi awal masuk tanaman kina berkat usul Reinwart, Junghuhn, serta Mulder. Mereka melihat potensi besar yang dimiliki kina dan yakin bila tanaman ini dapat berkembang baik di Indonesia.
Tanaman Kina (Cinchona sp.)
Dok. Heri Syahrian K., MP.
Ekspedisi pertama dilakukan pada abad ke-18 dengan hasil yang mengecewakan karena semua tanaman mati. Namun, mereka tak patah semangat hingga ekspedisi kedua terlaksana pada tahun 1854 dan berhasil mengumpulkan 500 tanaman yang kemudian ditanam di Cibodas, Bogor. Tetapi kegagalan masih terjadi sebab hanya 75 pohon yang mampu bertahan hidup. Junghun tak putus asa, dengan melalukan percobaan pemindahan menuju Pangalengan, Bandung. Benar saja, daerah tersebut memang cocok untuk tanaman kina. Teysmann mempunyai ide untuk mengubah penanaman secara terbuka yang sebelumnya selalu ditanam dibawah naungan hutan. Alhasil kina semakin tumbuh subur.
Keberhasilan aklimatisasi kina di Indonesia mendorong pihak Belanda untuk gencar menanam di daerah lain. Daerah tersebut tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah yaitu Nagrak, Cinyiruan, Cibeureum, Cibitung, Riung Gunung, Kawah Ciwidey, Rancabolang, Talaga Patengan, Cibodas di Gunung Gede, Wonodjampi, dan sebagian kecil ditanam di daerah Dieng. Tercatat produksi tertinggi mencapai 11.000 ton kulit kering/tahun diambil dari lahan seluas 17.000 ha. Menjelang akhir tahun 1863, terdapat 1.151.801 tanaman kina.
Bagaimana nasib Kina kini?
Zaman kejayaan produksi kina Indonesia mulai menurun sejak Perang Dunia II. Jalur ekspor terputus serta kepopuleran khasiat kina sebagai obat malaria tergantikan oleh obat sintetik yang dirasa lebih efektif. Jepang yang menjadi penjajah selanjutnya, melakukan penebangan kina besar-besaran untuk digantikan dengan tanaman palawija.
Kini luas areal kina terus mengalami penyusutan. Badan Pusat Statistika Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2012 areal kina memiliki luas 1.166 ha dengan produksi 793 ton kulit kering/tahun. Sementara itu, pada tahun 2016 luas areal terus merosot, perkebunan kina hanya memiliki 683 ha areal dengan 71 ton kulit kering/tahun. Pertanaman kina sekarang tersebar di kebun-kebun koleksi antara lain di Cinyiruan, Cibeureum, Bukittunggul, Bungamelur, Rancabolang, Cibuni, Cibitu, Riung Gunung, Kaligua, Tarik Ngarum, Tambi dan Medini.
Proses Pengeringan Kulit Kina
Dok. Heri Syahrian K., MP.
Hasil penelitian membuktikan, bahwa dalam kulit batang kina terkandung 4-13% alkaloid seperti kinin, kinidin, sinkonin dan sinkonidin. Alkaloid adalah senyawa organik bersifat basa mengandung nitrogen yang biasa digunakan sebagai obat. Kulit batang kina selain sebagai obat malaria juga dapat dimanfaatkan untuk banyak hal, seperti obat penawar kejang, obat penyakit aritmia jantung, bahan baku obat flu, bahan bitter pada minuman, bahan pembuatan pestisida dan kosmetik. Tanaman kina dapat pula dimanfaatkan sebagai penahan erosi.
Permintaan kina diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang. Namun, Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan bahan baku garam kina karena kondisi tanaman dan luas areal yang terus menyusut. Sebenarnya, terdapat klon-klon unggul yang memiliki kandungan SQ 7 (Quinine sulphate) tinggi seperti klon QRC, Cna, Cib 5, KP 105 dan GA 22. Klon – klon ini menjadi harapan untuk masa depan kina yang lebih baik.
Ditulis oleh :
Maurista Khubna (Mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret)
Heri Syahrian K. (Peneliti Pemuliaan Tanaman, Pusat Penelitian Teh dan Kina)
Referensi:
Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Kina Edisi Kedua PPTK 2007
Aklimatisasi Kina di Indonesia dan India PPTK 2006
Badan Pusat Statistika Provinsi Jawa Barat 2012
Warta Pusat Penelitian Teh dan Kina Volume 24 Nomor 1 2013.