
Tri Maruto Aji, S.P., M.Sc.
Kepakaran : Fitopatologi, Virologi Tanaman, Pengendalian Hayati, Bioteknologi
Bidang/Bagian : Penelitian / Proteksi Tanaman
Kualifikasi : S1 (Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan)
Kualifikasi : S2 (Fitopatologi)
Kualifikasi : S3 (On going – Ilmu Pertanian)
Semboyan : Gadjah boleh tinggalkan Gading, Harimau Boleh Wariskan Belang, Tapi Peneliti Tanpa Inovasi dan Solusi, bukanlah Peneliti tetapi Jurnalis.
Id Google scholar : V93ZhB0AAAAJ
SINTA ID : 6650503
Bekerja dalam ilmu terkait fitopatologi
adalah core utama dari latar belakang keilmuwannya. Baik jenjang
Sarjana, Master Degree dan On going Doktoral-nya saat ini tetap
konsisten menekuni penyakit-penyakit virus baru pada tanaman pertanian dan
perkebunan. Ilmu mengenai proteksi tanaman sudah tentu merupakan bidang
keahliannya. Seandainya ada gelar dokter untuk tanaman, beliau adalah salah
satu dokter tanaman yang memiliki spesialisasi dan kompetensi dalam hal
penyakit virus pada tanaman. Sebagaimana halnya dokter, banyak hal keilmuwan
yang beliau berikan kepada masyarakat secara langsung sebagai bentuk problem
solver, dan memang sulit menemukan tulisan-tulisan beliau dalam bentuk
Karya Tulis Ilmiah (KTI), karena kesibukannya dalam mengentaskan permasalahan
langsung di lapangan.
Terobosan inovasi beliau tahun 2017 lalu
saat membantu seniornya dalam memproduksi agensia hanyati pengendali hama
tanaman telah memperoleh penghargaan Sebagai inventor bioreaktor pemberantas
hama, dari Bursa Inovation Center (BIC) dengan masuknya inovasi tersebut pada
109 Inovasi Indonesia 2017. Kiprahnya dalam dunia fitopatologi tidak diragukan
lagi. Di Indonesia, beliau adalah orang pertama yang berhasil memodifikasi
teknik diagnosis virus yang memiliki bentuk dasar asam nukleat berupa RNA.
Teknik isolasi double stranded RNA (dsRNA) berhasil beliau kembangkan
pada tahun 2008 lalu pada tanaman Solanaceae. Perlu diketahui, dsRNA adalah
pintu masuk untuk pengembangan RNAi, RNA silencing, RNA therapeutic dan
seterusnya yang di negara maju saat itu digunakan sebagai tahapan dalam
pembuatan vaksin, terapi penyakit dan lain sebagainya. Inovasi tersebut
membawanya pada suatu undangan kehormatan untuk diberangkatkan ke Jepang dalam
rangka Ibaraki Sustainability Meetings : Workshop on Asian Agriculture and
Sustainable Society and International Symposium on Agricultural Innovation
toward Bio-fuel Based Society.
Dalam dunia perkebunan, beliau adalah
penemu virus kerupuk yang merusak dan mewabah pada tanaman tembakau cerutu di
PTPN X (persero) daerah Klaten 2011 lalu yang kemudian diketahui bernama
TYLCV-Kan 1 (Tomato Yellow Leaf Curl Virus, Kanchanaburi-1). Beliau
berinovasi di PTPN X saat itu dengan melakukan pengendalian virus melalui
mekanisme Plant Barrier System sehingga lebih ramah lingkungan. Alhasil,
inovasinya berhasil membantu mengendalikan wabah virus kerupuk pada tembakau
cerutu yang sangat mahal harganya.
Saat ini beliau bekerja sebagai salah
satu peneliti di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Jawa Barat. Sumbangsihnya
dalam keilmuwan bidang proteksi tanaman sejak menjadi peneliti pada tahun
2013 hingga saat ini adalah, sebagai inventor bioreaktor pemberantas hama,
inventor bio-fogger, inventor continue batch fermentor untuk
mengubah gulma menjadi biopestisida. Beliau aktif sebagai konsultan dan
melakukan pengawalan di PTPN pada komoditas teh sejak 2014-2017. Beliau juga
aktif dalam organisasi profesi seperti Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI)
dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI). Tidak heran jika sejak 2017-2020 beliau
bekerjasama dengan Telkom University mendesain Early Warning System (EWS) untuk
Pengendalian Terpadu OPT pada perkebunan teh dan pembuatan Automatic Weather
Station (AWS) atau dikenal dengan stasiun cuaca digital.
Sejak 2018 hingga saat ini beliau sedang
melanjutkan studi S3 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Beliau merupakan
ispirator bagi rekan-rekannya sesama peneliti di Gambung sebagai contoh dalam
hal pengembangan matcha pada tahun 2016 lalu beliau memberikan terobosan dengan
membuatkan prototipe Matcha grinder tradisional yang masih sangat sulit
bahkan tidak ada di Indonesia
