LOGO BARU
Theaflavin dan Thearubigin Teh Oolong Gamboeng

Teh memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Beberapa manfaat teh yang telah diketahui antara lain menurunkan kolestrol, menurunkan risiko osteoporosis, sebagai antivirus, penghilang bau, menjaga kesehatan gigi dan mulut, meningkatkan kondisi kognitif dan psikomotor pada orang dewasa, mencegah penyakit jantung koroner, mencegah penyakit liver, serta mencegah pertumbuhan dan perkembangan kanker lambung, esofagus, dan kulit (Wardiyah et al., 2014). Hal tersebut disebabkan karena teh mengandung polifenol yang berpotensi sebagai antioksidan yang mampu melindungi tubuh dari radikal bebas.

Senyawa polifenol ini merupakan senyawa yang dominan dalam teh dan salah satu turunan dari polifenol yang memilki khasiat antioksidan yang tinggi adalah katekin (Anjarsari, 2016). Meskipun katekin membawa sifat pahit dan sepat pada seduhan teh, senyawa ini memiliki peran penting dalam daun teh sebagai penentu kualitas teh dalam pengolahannya. Di dalam teh, katekin memiliki empat derivat utama, antara lain epikatekin (EC), epikatekin galat (ECG), epigalokatekin (EGC), epigalokatekin galat (EGCG), dan galokatekin (GC) (Leung et al., 2001).

Epigalokatekin dan epigaloketin galat akan menghasilkan senyawa turunan  berupa theaflavin (TF) dan therubigin (TR). Theaflavin dalam seduhan teh memberi warna kuning dan bersifat agak asam. Sementara itu, thearubigin merupakan hasil oksidasi lanjut dari theaflavin, sehingga kandungan thearubigin dalam teh akan lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan theaflavinnya (Rohdiana, 1999). Thearubigin dalam seduhan memberikan warna merah kecoklatan pada seduhan teh (Hilal dan Engelhardat, 2007).

Jumlah theaflavin dan thearubigin yang dihasilkan dalam produk teh akan berbeda beda, hal ini dipengaruhi oleh salah satunya adalah perbedaan jenis klon pada teh (Anjarsari 2016). Kadar theflavin dan thearubigin tertinggi terdapat pada teh hitam kemudian diikuti oleh teh oolong dan terakhir teh hijau. Hal tersebut disebabkan karena teh hitam mengalami oksidasi penuh sehingga mengubah sebagian besar katekin menjadi theaflavin dan thearubigin.

Penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung tentang perbedaan jenis klon terhadap kadar theaflavin dan thearubigin pada teh oolong menunjukkan bahwa adanya perbedaan kadar theaflavin dan thearubigin pada beberapa klon asamika dan sinensis. Penelitian ini menggunakan metode Robert dan Smith (1963) dengan prinsip analisis ektraksi theflavin menggunakan pelarut IBMK  atau etil asetat. Sementara itu, thearubigin dalam bentuk garamnya tidak terekstraksi oleh larutan ini, tetapi dapat diekstraksi dalam bentuk asam bebas. Thearubigin yang diekstraksi dengan IBMK akan larut dalam Natrium bikarbonat, dimana theaflavin tidak dapat dilarutkan.

Penelitian tersebut menggunakan bahan utama daun teh p+1 dan p+2 dari klon GMB 1, GMB 3, GMB 9, dan sinensis. GMB 1, GMB 3, dan GMB 9 merupakan pengembangan daun teh dari varietas assamica. Daun segar tersebut kemudian diolah menjadi teh oolong, yaitu jenis pengolahan teh setengah fermentasi yang secara prinsip dasar pengolahan adalah pelayuan oleh sinar matahari, pelayuan dalam ruangan, inaktifasi enzim, penggulungan dan pengeringan. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa klon GMB 1 memiliki kadar theaflavin dan thearubigin lebih tinggi dibandingkan dengan jenis klon lainnya. Kemudian diikuti oleh klon Sinensis, GMB 9, dan GMB 3.

Semakin tinggi kandungan katekin nya maka akan semakin tinggi kadar theaflavin dan thearubigin yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin rendah kandungan katekinnya maka akan semakin rendah pula kadar theaflavin dan thearubigin yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, proses produksi, kondisi lingkungan pada saat melakukan proses pembuatan teh oolong. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis klon dapat mempengaruhi kandungan theaflavin dan thearubigin pada teh oolong.

 

Disusun oleh :

1. Annisa Dzakia R (Mahasiswi Departemen Kimia, FMIPA, IPB)

2. Hilman Maulana (Peneliti Pengolahan Hasil dan Enjiniring, PPTK)

 

Daftar Pustaka :

Anjarsari, I.R.D. 2016. Katekin teh Indonesia : prospek dan manfaatnya. Jurnal Kultivasi. 15(2) : 99-106.

Hilal, Y., dan U. Engelhardt. 2007. Characterization of white tea comparison to green and black tea. J. Verbr. Lebensm. 2: 414-421.

Leung, L.K., Yalun Su, Ruoyun Chen, Zesheng Zhang, Yu Huang, Zhen-Yu Chen. 2001. Theaflavins in Black Tea and Catechins in Green Tea Are Equally Effective Antioxidants. The Journal of Nutrition 131(9): 2248–2251. https://doi.org/10.1093/jn/131.9.2248

Robert dan Smith. 1963. The phenolic substance of manufactured tea. J Sci Fd Agric. 14(9): 689-700.

Rohdiana D. 1999. Evaluasi kandungan theaflavin dan thearubigin pada teh kering dalam kemasan. JKTI. 9(1-2) : 29-32.

Wardiyah H, Alioes Y, Pertiwi D. 2014. Perbandingan reaksi zat besi terhadap teh hitam dan teh hijau secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Jurnal Kesehatan Andalas. 3 (1) : 49-53.