Teh merupakan salah satu tanaman perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Namun, dalam proses budidaya tanaman teh, keberadaan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses produksi tanaman teh dalam menghasilkan pucuk yang akan dipanen. Salah satu hama utama pada tanaman teh adalah Empoasca sp. Pada awalnya Empoasca sp. bukanlah hama utama tanaman teh namun, hama utama tanaman kapas. Empoasca sp. juga dikenal dengan sebutan Wereng Pucuk Teh (WPT). Selain di Indonesia, WPT juga merupakan hama utama tanaman teh di India dan Jepang.
WPT diketahui pertama kali menyerang perkebunan teh Gunung Mas pada tahun 1998. Pada umumnya terdapat dua periode saat populasi WPT menjadi sangat tinggi yaitu pada bulan Maret - Mei dan September – Desember. Namun, seiring dengan perubahan iklim global, serangan hama WPT dapat terjadi sepanjang tahun. WPT menyerang dengan cara mengisap daun teh dan menyebabkan bagian tepi daun teh keriting, layu dan menguning. WPT berukuran sangat kecil, serangga dewasanya berukuran ± 2,5 mm dan berwarna hijau kekuningan. Namun, meskipun kecil, WPT dapat mengurangi produksi hingga 15 - 20% per tahun bahkan dapat mencapai 50% per tahunnya pada serangan berat.
Serangan WPT telah menyebar ke sejumlah areal perkebunan teh di Jawa Barat menyebabkan produksi teh menurun. Pada tahun 2013, produksi teh per bulan menurun hanya sekitar 1,6 ton. Bahkan, kehilangan produksi di Kabupaten Cianjur mencapai 30% - 40% karena serangan OPT. Gejala serangan WPT tidak mudah dikenali, karena biasanya warna daun tetap terlihat hijau cerah. Padahal jika dilakukan pengamatan secara kuantitatif, seringkali intensitas serangan sudah mencapai tingkat yang berat.
Gejala serangan WPT
Dok. Fani Fauziah
WPT dianggap hama yang “merepotkan” bagi para pekebun karena sifatnya yang polifag. Tidak hanya menyerang tanaman teh dan kapas, ternyata WPT juga memiliki banyak inang alternatif. WPT pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1974 dan menyebar ke negara Eropa dan Africa bagian Utara, menyerang tanaman kentang, raspberry, tebu dan anggur. Di Indonesia, WPT menyerang kacang tanah, kacang panjang, kacang tunggak, kacang kedelai, ubi, kacang polong, dan Leguminose.
Hingga saat ini, pengendalian WPT masih menggunakan insektisida sintetik karena dapat menekan intensitas serangan dengan cepat. Di sisi lain, aplikasi pestisida yang terus menerus dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan efek negatif. Selain dapat menyebabkan resistensi dan resurgensi, residu pestisida juga dapat tertinggal di produk akhir teh. Selama beberapa tahun terakhir, produk teh hitam dan teh hijau Indonesia ditolak oleh Uni Eropa dengan alasan melebihi Batas Maksimum Residu (BMR).
Pada dasarnya, ada hal penting yang seringkali diabaikan oleh para pekebun, yaitu kegiatan monitoring. Monitoring merupakan salah satu komponen pengendalian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pada intinya, penerapan PHT di perkebunan teh bertujuan untuk menjaga lingkungan kebun. Dengan menerapkan PHT, kegiatan pengendalian menjadi lebih terencana efektif, dan efisien.
Kegiatan monitoring sangat diperlukan untuk menentukan teknik pengendalian mana yang akan dipilih. Teknik pengendalian sebaiknya dilakukan sesuai dengan tingkat intensitas serangan WPT. Namun, kegiatan monitoring seringkali tidak berjalan secara konsisten atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Monitoring dianggap menyulitkan karena keterbatasan sumber daya manusia di kebun. Pada akhirnya, penentuan tingkat intensitas serangan hanya dilakukan secara kualititaif, yaitu dengan melihat penampakan pucuk teh. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kekeliruan, karena hasil penilaian dapat berbeda antara satu petugas dengan petugas lainnya.
Iklim akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, demikian juga dengan OPT dan tanaman teh akan terus beradaptasi. Kita tidak bisa terus menerus mengandalkan pestisida sebagai pengendalian yang dianggap paling “ampuh”. Teknik pengendalian juga harus terus berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi. Penggunaan pestisida sintetik tidak hanya berdampak pada hama sasaran, tetapi juga dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, sudah saatnya menerapkan PHT untuk mengatasi WPT, Si Kecil yang “merepotkan”.
Disusun Oleh
Ines Ramariyanti (Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran)
Fani Fauziah (Peneliti Proteksi Tanaman, Pusat Penelitian Teh dan Kina)
Daftar Pustaka
Boateng, K.G.A. 2018. Review of Leafhopper Empoasca flavescens a Major Pest in Castor Ricinus communis.https://www.researchgate.net/profile/Kwadwo_Agyenim-Boateng2/publication/326092371/figure/fig1/AS:643280840695812@1530381512871/An-image-of-the-leafhopper-Empoasca-flavescens.png. [Diakses : 2 April 2019].
Dharmadi, A. 1999. Empoasca sp., Hama Baru di Perkebunan Teh Indonesia. Prosiding Pertemuan Teknis Teh Nasional. Pusat Penelitian Teh dan Kina.
Indriati, G., Funny Soeshanty. 2015. Hama Helopeltis spp. dan Teknik Pengendaliannya pada Pertanaman Teh (Camellia sinensis). SIRINOV, Vol 2, No 3, Desember 2014 (Hal : 189-198).
Mu, D., Cui, L., Ge, J., Wang, M. X., Liu, L. F., Yu, X. P., Zang, Q. H. & Han, B. Y.. 2012. Behavior responses for evaluating the attractiveness of specific tea shoot volatiles to the tea green leafhopper, Empoasca vitis. Insect Science, 19:229-238.
Widayat, W. 2007. Hama-Hama Penting Pada Tanaman Teh dan Cara Pengendaliannya. Seri Buku Saku 01. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. 24 hlm.
Zhang, Z. Q., Sun, X. L., Luo, Z. X., Bian, L. & Chen, Z. M. 2014. Dual action of Catsia tora in tea plantation: repellent volatiles and augmented natural enemy population provode control of tea green leafhoper. Phytoparasitica. DOI.10.1007/s12600-014-0400-y